Selasa, Juni 09, 2009

BU MINA

Ini adalah kisahku yang lain dengan tetanggaku di kampung. Awalnya waktu SMA aku sedang memanjat pohon sawo di belakang rumahku untuk mengambil buahnya. Secara tak sengaja mataku tertuju ke sebuah sumur tetangga yang tinggi dinding penutup kelilingnya hanya sebatas dada orang dewasa. Kulihat seorang wanita sedang membuka baju untuk mandi di sana. Tubuhnya kelihatan putih dan montok. Setelah kuperhatikan dengan cermat ternyata wanita itu adalah Bu Mina, tetangga selang tiga rumah sebelah barat dari rumahku. Bu Mina adalah istri muda dari seorang pengusaha angkutan. Ia membuka toko kelontong di rumahnya.

Aku mencari posisi yang lebih enak untuk mengintipnya. Kerimbunan daun sawo cukup membantuku agar tidak kelihatan dari arahnya mandi. Sambil mengintip akupun berkhayal bersetubuh dengannya. Dari tempatku mengintip dadanya yang putih dan montok kelihatan jelas sekali. Begitulah kalau aku tidak ada kegiatan di sore hari maka aku akan memanjat pohon sawo di belakang rumah dan menunggu Bu Mina mandi.

Bu Mina ini orangnya ramah dan supel (nantinya baru aku tahu kalau dia memang benar-benar supel alias suka peler). Kadang kalau aku duduk-duduk di depan tokonya ia menyapaku duluan. Asalnya sebenarnya dari pelosok, namun tidak kelihatan kampungan. Kukira nama sebenarnya Minah. Setelah kawin dengan Pak Yos dipanggil Bu Mina. Umurnya waktu itu kurang lebih tiga puluh tahun. Badannya sedikit gemuk tapi kulitnya kelihatan kencang. Ia paling sering pakai kain dan kebaya. Kalau sudah pakai kain dan kebaya, pantatnya yang besar kelihatan menantang dan bergoyang-goyang kalau sedang berjalan. Belahan buah dadanya terlihat sangat menggiurkan dan mengundang lirikan mata laki-laki.

Sampai ketika aku kuliah dan sedang liburan semester di kampung. Malamnya sekitar jam sembilan malam aku singgah ke toko Bu Mina untuk membeli sesuatu.

"Eh Mas Anto. Kapan datangnya dan libur berapa hari? Oleh-olehnya mana?" ia memberondongku dengan sejumlah pertanyaan. Tangannya diulurkan dan tentu saja kusambut dengan hangat.
"Tadi siang, dua minggu, pakaian kotor. Ibu mau?" jawabku taktis dan efisien menjawab semua pertanyaannya.
"Ihh.. Masa sih pacarnya kok cuma dibawain pakaian kotor," katanya menggodaku.

Dadaku berdesir. Pacarnya?

"Beli apa Mas?"
"Enngghh, beli sabun dan shampoo".
"Lho belum mandi toh?"
"Sudah, untuk besok pagi".
"Lho baru datang tadi, besok pagi kok sudah mandi basah," godanya makin berani.
"Ya, siapa tahu nanti malam mimpi basah, jadi paginya mandi basah," kataku. Kepalang basah kubalas godaannya tadi. Pokoknya basah.. Sah.. Sah.

Bu Mina masuk ke dalam tokonya. Pantatnya masih saja kelihatan besar dan padat di balik dasternya. Aku mengikutinya, sambil melihat-lihat barangkali ada barang lain yang tiba-tiba teringat untuk kubeli.

"Ini sabun dan ini shampoonya. Eh nanti malam mimpi basah sama saya saja ya!" katanya berbisik sambil tersenyum.

Kalau begini caranya nanti malam aku bisa benar-benar mimpi basah. Aku hanya diam saja dan menerima sabun dan shampoo tadi. Ketika memberikan belanjaanku ia seolah-olah memalingkan mukanya ke arah TV dan seperti tanpa sengaja telapak tangannya mengusap lenganku.

"Eh maaf Mas. Habisnya acara di TV bikin penasaran saja".
"Berapa Bu semuanya?" tanyaku sambil mengangsurkan selembar uang dua puluh ribuan.
"Ah, nggak usah Mas. Lagian uangnya besar begini nggak ada kembaliannya". Ia menolak uangku. Aku jadi tidak enak.
"Ya sudah Bu, saya utang dulu. Besok saja sekalian saya bayar" kataku.
"Bayar pakai yang lain saja gimana Mas?"

Aku garuk-garuk kepala kebingungan sambil meninggalkan tokonya. Karena masih lelah aku segera tertidur dan bangun agak kesiangan. Adik kecilku berdiri tegak, pertanda metabolisme dan kondisi tubuh masih fit.

Setelah menyelesaikan ritual pagi hari, 3M, mandi, modol dan makan, aku berniat untuk jalan-jalan ke tempat Tina teman masa SD-ku (Aku Oase Para Wanita Bersuami 5: Tina). Kali-kali aja aku dapat jatah untuk sekedar kissing, necking dan petting. Tapi tiba-tiba aku ingat dari informasi yang kudapat tadi malam Tina sedang ke luar kota. Akhirnya kuputuskan untuk jalan-jalan ke pasar saja.

Sampai di pasar aku berputar-putar di los pakaian. Aku terkejut ketika tiba-tiba pundakku ditepuk dari belakang.

"Cari apa Mas Anto?"

Aku menoleh ke belakang dan ternyata Bu Mina yang ada di belakangku. Ia mengenakan blouse putih tipis dengan celana panjang warna biru. BH-nya yang juga berwarna biru membayang di balik baju tipisnya.

"Ibu bikin kaget saja. Tadinya pengen beli tas tapi nggak ada yang cocok. Maksudnya nggak ada yang cocok harganya, kalau modelnya sih banyak yang cocok," kataku.
"Oh gitu. Gimana kalau kita jalan-jalan ke Malioboro atau Shoping Centre kali-kali aja ada yang cocok. Kebetulan aku juga lagi cari kain batik untuk Bapaknya. Ayolah mumpung masih pagi," katanya sambil menarik tanganku. Aku tak bisa menolaknya.

Dua jam kemudian kami tiba di Jalan Malioboro. Kami masuk ke sebuah toko dan melihat-lihat tas pakaian. Harganya memang murah dan modelnya bagus. Cuma aku memang tadinya juga cuma mau lihat-lihat saja, belum mau beli.

Ketika masuk ke dalam toko kain, Bu Mina menggandeng lenganku dengan mesra. Aku jadi agak jengah juga. Akhirnya Bu Mina membeli dua potong kain batik. Satu untuk suaminya dan satu lagi untukku. Setelah itu kami makan.

Selesai makan aku sudah bersiap untuk pulang, tapi Bu Mina masih saja duduk di kursinya. Ia menatapku sambil tersenyum.

"Eh, ngomong-ngomong tadi pagi jadi keramas nih?" ia mulai menggodaku lagi.
"Iya," jawabku singkat.
"Kalau.. Mmhh siang-siang gini keramas lagi mau nggak?" tanyanya sambil memegang telapak tanganku.
"Kalau tadi malam kamu mimpi basah, sekarang ngerasain yang sebenarnya mau nggak?" sambungnya.

Aku hampir terjatuh dari kursiku. Sebenarnya tentu saja inilah yang kuharapkan, tapi untuk membuatnya penasaran aku hanya berdiam saja.

"Ayolah!" rayunya.

Akhirnya aku berdiri dan berjalan keluar dari restoran. Bu Mina memegang tanganku dan menarikku berjalan ke arah sebuah becak yang sedang mangkal.

"Pasar Kembang, Pak!" katanya pada tukang becak.
"Kenapa nggak ke Kaliurang saja," protesku.
"Kejauhan, waktu kita sedikit," jawabnya pasti.

Sampai di depan sebuah hotel yang cukup bagus di dekat pintu belakang Stasiun Tugu ia memberi kode kepada tukang becak untuk menepi.

Kami segera masuk ke dalam hotel. Setelah menyelesaikan urusan di resepsionis kami masuk ke dalam kamar. Sebuah kamar yang lumayan bagus dengan sebuah ranjang besar yang empuk. Lantainya dilapis dengan permadani yang agak tebal.

Begitu pintu kamar tertutup, Bu Mina langsung memelukku. Bu Mina menyapukan bibirnya ke bibirku dengan lembut. Aku belum membalasnya. Ia kemudian mengulangi dan melumat bibirku. Terasa lembut dan nikmat sekali bibirnya. Lama kelamaan ciumanku berubah menjadi lumatan ganas.

Lidahnya mendorong lidahku dan menyelusuri langit-langit mulutku. Aku membalasnya, kudorong lidahnya, dia menyedot lidahku. Rupanya Bu Mina sangat lihai dalam berciuman. Kadang kepalanya dimiringkan sehingga mulut kami bisa saling menyedot. Suara kecipak perpaduan bibir kami mulai terdengar.

"Lepas bajunya dulu, To!" ia menyuruhku.

Kulepas baju, celana panjang dan sekaligus celana dalamku dalam sekali gerakan. Dadaku yang bidang dan berbulu lebat membuatnya berdecak kagum. Kejantananku langsung mencuat keluar dan perlahan-lahan terancung dalam kondisi lurus, bahkan sedikit mengacung ke atas.

Kepala penisku kelihatan kemerahan dan mengkilat karena dari lubangnya sudah mulai keluar cairan bening agak kental dan lengket. Diusapnya lubang kejantananku dengan ibu jarinya dan diratakannya cairan bening yang keluar tadi di atas kepalanya sehingga kini semakin mengkilat. Diusap-usapnya kepala penisku sampai membesar maksimal.

Bu Mina melepaskan pelukannya. Dengan gerakan pelan dan gemulai ia melepas blus, celana panjang dan akhirnya celana dalamnya. Tangannya membuka kancing bra-nya dan sebentar ia sudah dalam keadaan bugil. Tubuhnya yang montok dengan sedikit lemak di bagian perutnya. Gunung kembarnya dengan puncaknya yang kemerahan yang menggantung bebas. Kini kami berdua sama-sama dalam keadaan polos tanpa selembar benang pun. Selang beberapa menit kemudian Bu Mina berkata di telingaku dengan lirih..

"Kita ke ranjang.. Sa.. Yang..".

Aku langsung menyergapnya dan mengulum bibirnya, dan dia membalasnya dengan sangat liar, kemudian aku merasa penisku semakin tegak dan terasa lebih keras dari biasanya. Aku berbaring di ranjang dan Bu Mina merangkak di atasku. Dadanya disodorkan ke mulutku dan dengan rakus kusedot dan kujilati buah dadanya. Tangan dan mulutnya menarik-narik bulu dadaku dengan lembut. Sekali waktu dia menarik dengan keras. Aku terpekik..

"Ouuw.. Sakit Bu..".
"Aku gemas melihat dadamu".

Dia terus memintaku meremas-remas payudaranya dan menghisap putingnya secara bergantian. Lalu dia mulai menjilati tubuhku dari mulai leher perlahan-lahan turun kebawah dan berhenti disekitar paha. Dia juga menjilati biji zakarku.

"Agh.. Ugh.. Ouhh.. Enak Bu.. Ugh..!!" desahku.

Bu Mina menggigit pahaku di bagian dalam dekat pangkal paha seolah-olah mengingatkan ini bukanlah sekedar mimpi basah tetapi kenyataan yang benar-benar sedang terjadi. Bu Mina terus melanjutkan aksinya, kini dia jongkok di atas pahaku.

Tangannya meremas kejantananku dan menggoyangkannya sebentar. Digesekkannya kepala kejantananku pada bibir vaginanya, kemudian ia menurunkan pantatnya. Kepalaku sudah tertelan dalam vaginanya. Terasa vaginanya berair. Dengan pelan pantatnya bergerak turun sambil memutar-mutar. Kejantananku terasa ngilu dibuatnya.

"Ibu masukin ya. Ayo To..!! Angkat ke atas..,.. Tunggu sebentar!" ia memberi komando.

Diganjalnya pantatku dengan bantal, kuangkat pantatku sedikit untuk memudahkannya mengganjal pantatku dan kemudian pantatnya semakin turun. Dan dengan perlahan penisku masuk ke dalam sebuah lorong hangat. Aku merasakan penisku dihimpit oleh benda hangat, basah dan berdenyut, sebuah sensasi kenikmatan yang sangat luar biasa.

"Agh.. Auw.. Ooh.. Nikmat sekali, To!!" rintihnya terbata bata.

Kugerakkan pinggulku memutar berlawanan arah dengan gerakan pingulnya. Dibenamkam penisku dalam dalam sampai terasa tidak bisa masuk lebih dalam lagi, dan Bu Mina menjerit. Tangannya memainkan putingku dan sesekali menjilat dan mengisapnya. Aku menggigit bibir menahan rangsangan. Dia terus menggoyangkan pinggulnya dengan teratur dan makin lama makin cepat.

"Ouchh.. Agh.. Ugh.. Oo.. Yes..!!" desisnya terdengar berulang-ulang.

Aku mempercepat gerakanku mengimbanginya dan makin cepat lagi sampai akhirnya..

"Bu.. Aku.. Mau keluar nih.. Ouw..!!"

Memang kurasakan jepitan vaginanya semakin keras dan kuat sampai sampai penisku terasa ngilu, Bu Mina terus mempercepat gerakannya dan aku mulai merasakan sesuatu akan terjadi pada tubuhku..

"Aku.. Bu.. Aku," aku memberontak.
"Ouhh To.. Aku juga..".

Kami tahu kalau sebentar lagi akan mencapai puncak. Beberapa detik kemudian cairan kental menyemprot beberapa kali keluar dari kemaluanku. Bu Mina pun menekankan pantat sekerasnya ke arahku sehingga tulang pubisnya menekan biji penisku sampai sakit. Kurasakan semprotannya sangat kuat dan banyak sampai sebagian keluar dari vaginanya.

Setelah membersihkan diri, kami saling berpelukan dan aku masih menikmati sisa sisa kenikmatan tadi dalam keadaan telanjang bulat, hanya ditutup dengan selimut. Napasku mulai normal dan keringatku sudah mengering. Kepala Bu Mina masih berada di dadaku, matanya masih terpejam. Aku merenung sejenak, membayangkan apa yang baru saja terjadi.

Kupeluk dia dan kucium belakang telinganya dengan lembut. Ia menggerinjal. Kuremas dadanya dengan lembut.

"Sudahlah To, aku mau istirahat dulu sebentar. Kecuali kalau kau.."

Tanpa menunggu lagi segera kulumat bibir indahnya.

"Hmm.. Kudaku rupanya mengajak berpacu lagi..".

Kami berciuman lagi, semakin lama kembali semakin liar seiring dengan nafsu kami yang mulai bangkit lagi. Tanpa terasa selimut yang tadinya menutup tubuh kami sudah tersingkap jatuh ke lantai dan tubuh kami berdua kembali tidak tertutup apa-apa lagi.

Bibir kami saling berpagut, hangat. Kulumat bibir Bu Mina itu dengan penuh nafsu. Sekali-sekali kugigit bibirnya dan kumainkan lidahku di atas langit-langit mulutnya. Nafsu sudah menguasai kami berdua.

Kami semakin tenggelam dalam birahi. Kini leher jenjang Bu Mina menjadi sasaran berikutnya. Kuciumi dan kujilati sepuasnya. Hampir saja kugigit lehernya itu, kalau tidak diingatkan oleh Bu Mina.

"Jangan To.. Nanti kelihatan orang", bisiknya.

Kupandangi tubuh indah itu sesaat. Lidahku tahu-tahu sudah memainkan puting payudara yang berwarna coklat muda dan keras itu. Pelan-pelan kaki kanannya ku angkat dan kuletakkan di atas perutku.

Dalam posisi telentang berdampingan jari kiriku memainkan bulu-bulu halus di sekitar vaginanya, kemudian merambat menggesek-gesek lipatan pahanya. Pinggangnya terangkat dan bergerak-gerak tidak beraturan. Kudengar Bu Mina melenguh-lenguh tanda terangsang.

"Ahh.. Ouuhgh.. Sedaap.. Sshh.. Nikkmaatt.. Terusskan..".

Kakinya kuturunkan dan dengan penuh nafsu serangan kuteruskan. Lidahku sudah berada di lipatan pahanya, menggantikan jariku tadi. Kudekatkan hidungku ke sela pahanya. Sekilas tercium bau segar yang khas.

Akhirnya kuserang bibir vaginanya yang sudah mulai basah. Kujilat-jilat sambil sesekali menjepit bagian dalam bibir vaginanya itu dengan kedua bibirku. Dengan sentuhan ringan tanganku sesekali memainkan daging kecil sebesar biji kacang tanah. Rupanya seranganku membuahkan hasil. Bu Mina bergetar keras dan mulai meracau.

"Hmm.. Sshh.. Ngghh.. Akhh. Aku juga mau To, berputar.. Berputar".

Tangannya kemudian memegang kepalaku, meraih pinggang dan menangkap kakiku dan memutarnya ke arah mukanya. Kuikuti saja kemauannya.

Kami berbaring berlawanan arah. Aku tengkurap diatas tubuhnya. Selangkanganku berada di atas mulutnya dan sebaliknya sambil kami terus melakukan stimulasi di sekitar paha. Ia langsung melahap penisku sampai habis. Diisap-isap, dikocok-kocok dan dijilati sampai puas. Gantian aku yang menggelinjang hebat.

"Mmhh.. Srup.. Srup..".

Penisku dihisap-hisap dan dijilati sampai badanku merinding semua. Ia memberi isyarat agar berubah posisi. Kami berguling ke samping dan kini masih tetap dalam posisi kepalaku pada selangkangannya dan sebaliknya, aku sekarang yang berada di bawah.

Rupanya dengan posisi demikian ia lebih mudah menikmati penisku. Akupun demikian, lebih leluasa untuk menjelajahi selangkangannya. Kami saling merintih dan melenguh memberikan respon terhadap rangsangan yang diterima. Bu Mina menggelinjang penuh kenikmatan ketika kujilat dan kugigit klitorisnya. Tetapi sebaliknya Bu Minapun semakin gencar menyerang penisku dengan tak kalah hebatnya.

Kami tetap dalam posisi ini sampai beberapa menit.

Tiba-tiba ia menghentikan serangannya dan duduk di tepi ranjang. Ditariknya tanganku. Kupeluk dari samping dan kemudian ditariknya badanku sehingga kami jatuh ke karpet di lantai dekat ranjangku. Dipeluknya tubuhku dengan eratnya dan dengan gencar menciumiku, sampai aku kesulitan mengambil napas. Suara dari ciuman mulut kami semakin keras.

Sejenak kemudian ia menghentikan gerakannya. Aku mencoba bangkit dan berusaha mengangkatnya kembali ke ranjang. Tapi dia menggigit daun telingaku dan berkata lirih..

"Jangan To.. Tidak usah. Kita coba variasi lain.. Di bawah.. Di karpet saja".

Aku tidak jadi mengangkatnya dan kembali kurebahkan di atas karpet yang lembut dan empuk. Kutindih tubuhnya dan ia mengangkangkan kedua kakinya lebar-lebar. Kucoba untuk menerobos lubang guanya, meleset, kucoba lagi dan meleset. Kepala penisku sudah masuk dan menyentuh bibir vaginanya. Bu Mina merintih rintih minta agar aku segera memasukkan penisku.

"Masukkan.. To.. Masukin sekarang!".

Rupanya dia tidak sabar lagi. Ia segera menggenggam batang penisku dan mengarahkan ke vaginanya yang merekah. Begitu seluruh kepala penisku yang besar sudah menerobos masuk ke bibir vaginanya, ia tersentak dan menekan pantatku dengan kedua tangannya.

"Dorong To.. Anto dorong kuat-kuat," desahnya.

Kudorong pantatku dengan kuat sampai semua batang penisku amblas di dalam liang guanya. Ia berteriak agak kuat, kututup dengan tanganku. Ia menggoyangkan kepalanya ke kanan ke kiri dan melakukan gerakan-gerakan tak beraturan.

"Naikkan sedikit lebih ke atas dan turunkan lagi," desisnya.

Kuangkat pantatku sedikit naik dan tangannya kemudian memegang pinggangku untuk membantuku melakukan gerakan memompa. Gesekan kulit penisku dengan dinding vaginanya membuat aku mendesis nikmat. Kucium dadanya dan kugigit sampai merah. Ia sudah tidak peduli lagi dengan aksiku, hanya aku saja yang menjaga agar cupangku tidak sampai pada bagian tubuh di luar baju, kelihatan orang nantinya.

Kini aku sudah bisa menikmati dan melakukan gerakan memompa dengan terkendali. Payudaranya kukulum sampai setengahnya dan putingnya kugigit kecil. Kepalanya tersentak menengadah sehingga lehernya yang jenjang terlihat semakin menggairahkan. Kalau mulutku di payudaranya, maka tanganku mengusap pipi dan lehernya, jika mulutku ada di lehernya maka tanganku meremas payudaranya. Ia mengimbangi dengan menggerakkan pinggulnya memutar sehingga penisku terasa seperti tersedot suatu pusaran arus yang kuat.

Kutambah kecepatan permainanku karena akupun merasa sudah mendekati saat-saat terakhir menggapai puncak. Kurasakan darah mengalir deras ke penisku. Kugoyang, kugenjot dan kugoyang terus. Putaran pinggulnya juga dipercepat. Tubuh kami saling merapat. Akhirnya kusemburkan spermaku ke dalam vagina Bu Mina dengan menekan pantatku kuat-kuat sampai menyentuh dinding rahimnya.

"Ouhh Bu Mina.. Oouhh!!"
"To.. Anto.. Tahan sebentar.." Kurasakan dinding rahimnya berdenyut-denyut.
"Sekarang To.. Sekarang ayo tusukkhh!!"

Aku mencapai puncak kenikmatan terlebih dulu dan dalam hitungan sepersekian detik Bu Minapun kemudian mendapatkan orgasmenya. Kulihat ia akan berteriak dan kusumbat dengan mulutku karena akupun rasanya juga akan berteriak sambil memperketat pelukanku. Penisku terus berdenyut-denyut dan kurasakan dinding vaginanyapun juga berdenyut. Kedua kakinya terangkat ke atas dan bergerak-gerak seperti mengayuh sepeda.

Semenit berikutnya kami berpagut mesra. Hingga akhirnya ia mendorong tubuhku ke samping.

"Kamu pintar sekali," katanya sambil mencubit lenganku.

Akhirnya menjelang sore kami check out dan pulang, sampai di rumah kurang lebih jam lima sore. Kami berjanji tiga hari kemudian untuk berkencan lagi di Kaliurang.

Tiga hari seperti yang dijanjikan pagi-pagi kami sudah ada dalam sebuah kamar di Kaliurang. Kupeluk Bu Mina dari belakang dan kuusap pinggangnya. Kurapatkan tubuhku ke tubuhnya sehingga kejantananku menekan belahan pantatnya. Ia mengenakan baju model kebaya warna hijau dengan kancing di depan dada sampai perut. Celana panjangnya berwarna hitam.

Sambil kupeluk kubawa ia ke jendela sambil melihat puncak Gunung Merapi dan Gunung Merbabu di kejauhan. Kucium tengkuknya dan ia menarik napas panjang..

"Hhmmh.. Anto".

Ia membalikkan badannya. Mukanya sedikit mendongak, bibirnya yang merah merekah setengah terbuka dan semakin mendekat ke bibirku. Kami berciuman dengan lembut namun penuh gairah. Ia merogoh kantung celananya dan mengambil sebutir pil, dan menyuruhku untuk meminumnya.

"To ini diminum dulu agar kita bisa bermain sampai sore".

Kuambil pil itu dan segera kutelan. Aku sebenarnya tidak terlalu percaya dengan khasiat obat kuat. Kupikir staminaku masih mampu untuk mencapai tiga atau empat puncak, bahkan sampai esok pagi rasanya masih mampu. Namun untuk menyenangkannya dan kupikir tidak ada salahnya untuk mencoba khasiat obat ini.

Kubuka kancing baju model kebayanya di depan dadanya dengan gigiku dan kemudian tanganku melanjutkan untuk membukanya. Dadanya yang terbuka berwarna putih mulus terlihat kontras dengan bra berwarna merah yang masih menutup payudaranya. Kucium bahunya, kumainkan tali bra-nya. Ia memelukku dan mengusapkan pipinya di kepalaku. Mulutnya menjilati lubang telingaku dan membisikkan kata-kata penuh gairah..

"Ouhh Anto.. Hari ini akan menjadi hari panjang yang melelahkan. Kita akan menikmatinya sepenuhnya.. Ouhh!"

Kucium dan kugigit bagian dada di antara dua gundukan daging payudaranya. Kulitnya memerah karena bekas gigitanku tadi. Ia tidak mencegahku untuk mencupangnya, bahkan ia memintaku untuk melakukannya lagi.

"Anto.. Berikan lagi gigitanmu. Cupang aku.. Aoouhh!"

Kubuka bajunya kemudian bajuku sendiri dengan posisi tetap berciuman dan berpelukan. Kudorong tubuhnya ke ranjang dan kutindih tubuhnya. Bibirku menyusuri bahunya melepas tali bra-nya lewat tangannya bergantian kanan kiri, kubiarkan bra-nya masih menutup dadanya karena pengait dipunggungnya belum kubuka. Kembali bahunya yang sudah terbuka kucium dan kugigit sampai memerah.

Aku bergerak memutar sehingga berada di belakangnya. Kulepas pengait bra-nya, dan kutarik dengan gigitanku. Kini dadanya terbuka polos. Dari belakangnya, tanganku meremas pantatnya dan menciumi punggungnya yang putih. Tanganku meremas buah dadanya yang kencang. Kuciumi leher dan belakang telinganya, kemudian kugesekkan pipi kananku ke pipi kirinya.

Sambil kucium punggungnya kini tanganku melepas celananya dan celana dalamnya sekaligus. Tak lama celana dan celana dalamkupun sudah melayang. Aku tetap menciuminya sambil berbaring miring di belakangnya. Kugigit punggungnya dan terus menyusuri sekujur punggungnya ke bawah. Tanganku mengusap pantatnya dan buah pantatnya kugigit pelan. Bu Mina menggelinjang.

Ia berbalik dengan posisi dadanya di depan mukaku. Putingnya yang berwarna coklat kemerahan digesekkannya di ujung hidungku dan segera kutangkap dengan bibirku. Mulutku bergerak ke bawah perutnya, ia membuka pahanya agar memudahkan aksiku. Aku hanya menggesekkan hidungku ke bibir vaginanya. Aku tidak ingin merangsangnya dengan mulutku. Kepalaku bergerak ke atas dan menciumi ketiaknya yang terbuka, karena tangannya berada di atas kepala sambil meremas bantal.

Kami berguling sedikit dan sebentar kemudian ia sudah berada di atasku. Bibirnya lincah menyusuri wajah, bibir dan leherku. Bu Mina mendorong lidahnya jauh ke dalam mulutku, kemudian menggelitik dan memilin lidahku. Kubiarkan Bu Mina yang mengambil inisiatif menyerang. Sesekali lidahku yang membalas mendorong lidahnya. Tanganku meremas-remas payudaranya.

"Auhh, Ayolah Anto.. Terus," ia merintih pelan.

Kemaluanku mulai menegang dan mengeras. Kukulum payudaranya semuanya masuk ke dalam mulutku, kuhisap dengan kuat, putingnya kumainkan dengan lidahku. Napasnya memburu dengan cepat. Detak jantung kami semakin cepat meningkat.

"Ayo puaskan aku sampai saat-saat terakhir sayang.. Ahh.. Auuh!" Bu Mina mendesis ketika ciumanku berpindah turun ke leher dan daun telinganya.

Tangan kiriku mulai menjalar di pangkal pahanya, kumasukkan jari tengahku ke belahan di tengah selangkangannya dan kugesek-gesekkan ke dinding depan vaginanya.

"Ah sayang. Kamu liar dan nakal".

Sementara itu tangan kananku meremas halus buah dadanya. Tangannya tak mau kalah memegang, meremas dan mnegocok kejantananku. Dengan ganas aku menciumi seluruh bagian tubuh yang dapat kujangkau. Beberapa saat kemudian ereksiku sudah mendekati maksimal. Kepalanya berdenyut menantang lawan di depannya.

Jari tengah kiriku kugerakkan lebih cepat dan tubuhnya kemudian meliuk-liuk menahan kenikmatan. Pinggulnya naik dan berputar-putar. Tangan kananku memelintir puting payudara kirinya dan dan mulutku kini menggigit puting kanannya. Sementara jari kiriku tetap mengocok lubang vaginanya. Semakin cepat kocokanku, semakin cepat pula gerakan pantat dan pinggulnya.

Permainan tangan kiriku kuhentikan dan kuarahkan kejantananku untuk memasuki liang vaginanya. Sebentar kemudian dengan mudah aku sudah menembus guanya yang panas. Pinggulku kugerakkan naik turun dan ia mengimbangi dengan memutar pinggulnya dan menaik turunkan pantatnya. Harumnya parfum yang dipakainya sangat membantuku untuk rileks namun juga sangat menimbulkan gairah. Kakinya menjepit pahaku dan kadang dikangkangkan lebar-lebar. Kuciumi leher dan dadanya. Beberapa kali kugigit sampai meninggalkan bekas kemerahan.

Kucabut penisku dan kubalikkan tubuhnya, ia mengerti maksudku. Ia mengambil posisi nungging dan menaikkan pantatnya yang memang masih kencang. Kuposisikan diriku di belakang pantatnya. Diraihnya penisku dan segera diarahkan untuk menerjang guanya kembali. Kuterjang vaginanya dengan kocokan lembut. Tanganku memegang pantatnya dan membantu menggerakkan pantatnya maju mundur.

Ia mulai menggelinjang dan mengejang lembut, kedua tangannya mencengkeram dan meremas sprei.

"Ouhh.. Sudah To.. Kita.." ia merintih ketika pantatku kugerakkan ke belakang sampai penisku hampir terlepas dan kumajukan dengan cepat. Kuulangi beberapa kali lagi dan iapun menekankan kepalanya miring di atas bed.
"To.. Kita kembali posisi.. Kita.. Aku.." ia menjerit dengan kata-kata yang tidak jelas.

Ia memintaku untuk kembali dalam posisi semula. Kembali kucabut penisku dan segera kurebahkan kembali dalam posisi konvensional. Aku tahu ia, dan aku juga, hampir mengakhiri babak pertama ini. Kami bergerak berputar-putar. Setiap kutatap mukanya yang mengairahkan, maka akupun terpacu untuk membagi kenikmatan yang lebih kepadanya.

Bunyi desah napas dan erangan kami semakin sering dan kuat, memenuhi seluruh sudut kamar. Vaginanya kugenjot semakin cepat dan kuangkat kaki kirinya dan kulipat sehingga lututnya menempel di perutnya. Dengan satu kaki terangkat dan satu lagi dikangkangkannya lebar-lebar ia semakin meracau..

"Ouahh.. Uuhh!".

Dinding vaginanya mulai berdenyut dan akupun sudah mencapai sebuah titik dimana aku tidak bisa kembali lagi dan harus kuraih puncak itu. Kakinya yang tadi kulipat kukembalikan lagi dan segera kedua pahanya menjepit pinggangku.

"Sekarang Bu Min.. Naahh.. Aku mau kell.. Lluu.. Arr.. Ghh," aku menggeram keras. Pinggulnya naik menjemput kejantananku. Kutekankan kejantananku dalam-dalam di vaginanya.
"Ouhh Anto.. Aku juga samm.. Paaiihh!" ia pun memekik kecil.

Giginya dibenamkan di bahuku sampai membekas. Jepitan kakinya semakin ketat dan denyutan di vaginanya terasa meremas penisku. Ditekan-tekannya pantatku ke bawah dengan betisnya. Setelah beberapa saat kami sama-sama terkulai lemas

Udara sejuk Kaliurang yang bertiup dari luar kamar sangat membantuku untuk mengembalikan tenaga. Bu Mina masih mengusap dan mempermainkan bulu dadaku. Ia berbaring miring di sebelahku dengan kaki kananya membelit kakiku. Kupeluk bahunya dan kuusap-usap dengan lembut.

"Aku tidak ingin hari ini berlalu dengan cepat. Aku masih ingin bersamamu berbagi kenikmatan," katanya sambil mengecup lenganku.

Setelah beberapa saat kemudian, maka napas dan detak jantung kami pun kembali normal. Setelah mengobrol dan bercanda, sejam kemudian Bu Mina sudah merengek minta untuk masuk babak berikutnya. Aku masih menatap dan menikmati pemandangan tubuh aduhai yang sedang dalam keadaan telanjang telentang di sampingku.

Ia naik ke atas tubuhku dan mencium bibir, leher dan telingaku. Mulutku menghisap kedua payudaranya, kugigit putingnya bergantian. Ia hanya melenguh dan gairah kami berdua pun mulai timbul.

Tangannya menyusup di sela pahaku, kemudian mengelus, meremas dan mengocok penisku. Pantatku sesekali kunaikkan dan menahan napas. Bibirnya mengarah ke leherku, mengecup, menjilatinya. Napasnya dihembuskan dengan kuat ke dalam lubang telingaku. Kini dia mulai menjilati putingku dan tangannya mengusap bulu dadaku kemudian menjalar sampai ke pinggangku. Aku semakin terbuai kenikmatan. Kupeluk dan kuusap pungungnya dengan kuat.

Tangan kiriku dibawanya ke celah antara dua pahanya. Jari tengahku masuk, mengusap dan menekan bagian depan dinding vaginanya dan bersama ibu jari menjepit dan memilin sebuah tonjolan daging sebesar kacang. Setiapkali aku mengusap dan memilinnya Bu Mina mendesis keras..

"Sshh.. Ouhh.. Sshhss"

Ia melepaskan tanganku dari selangkangannya. Mulutnya bergerak ke bawah, menjilati perutku. Tangannya masih mempermainkan penisku, bibirnya terus menyusuri perut dan pinggangku, semakin ke bawah dan kemudian mengecup kepala penisku. Lidahnya membelah masuk ke lubang kencingku. Aku merasa seperti disengat ribuan lebah dan secara refleks mengencangkan ototku. Dua buah telur yang menggantung di bawahnya kemudian diisapnya. Aku hanya menahan napasku setiap ia mengisap telurku.

Bu Mina kembali bergerak ke atas, tangannya masih memegang dan mengusap kejantananku yang telah berdiri tegak. Kembali kami berciuman. Buah dadanya kuremas dan putingnya kupilin dengan jariku sehingga dia mendesis perlahan dengan suara merintih..

"Sshh hhiihh.. Sshh.. Ngghh.."

Perlahan-lahan diturunkankan pantatnya sambil memutar-mutarkannya. Kepala penisku dipegang dengan jemarinya, kemudian digesek-gesekkan di mulut vaginanya. Terasa sudah mulai lembab karena cairan dinding vaginanya. Dia mengarahkan kejantananku untuk masuk ke dalam vaginanya. Ketika sudah menyentuh bibir guanya, maka ditekannya pantatnya perlahan. Akupun menaikkan pantatku menyambutnya. Bu Mina merenggangkan kedua pahanya dan segera kepala penisku sudah mulai menyusup di bibir vaginanya.

"Ayolah Bu Mina.. Dorong.. Akan kusambut dari bawah..!!"

Bu Mina semakin menekan pantatnya dan peniskupun semakin dalam masuk ke lorong nikmatnya.

"Ouhh.. Bu Mina," desahku setengah berteriak.

Bu Mina bergerak naik turun dan memutar. Perlahan-lahan kugerakkan pinggulku. Karena gerakan memutar dari pinggulnya maka penisku seperti tersedot sebuah tabung vakum. Bu Mina mulai mempercepat gerakannya, namun kupegang dan kutahan pantatnya, kemudian aku yang mengatur kecepatan gerakan pantatku dari bawah dengan perlahan. Bu Mina membuat denyutan-denyutan di dalam lubang vaginanya.

"Bu Mina.. Pelan saja. Kita nikmati saat-saat ini" desisku sambil mencium dadanya.

Aku ingin mengiringinya berlayar mengarungi samudra percintaan. Kami saling menjepit sebelah kaki dengan dua kaki kami. Kaki kirinya kujepit dengan kakiku dan demikian juga kaki kiriku dijepit dengan dua kakinya. Dalam posisi ini ditambah dengan denyutan pada kemaluan kami masing-masing terasa nikmat sekali. Kepalanya direbahkan di dadaku dan mengecup putingku.

Tanganku menarik rambutnya ke belakang sampai kepalanya terangkat. Kucium dan kuremas buah dadanya yang menggantung. Setelah kujilat dan kukecup lehernya kulepaskan tarikan pada rambutnya dan kepalanya turun kembali kemudian bibirnya mencari-cari bibirku. Kusambut mulutnya dengan satu ciuman yang dalam dan lama.

Bu Mina kemudian mengatur gerakannya dengan irama lamban namun disertai dengan denyutan pada dinding vaginanya. Pantatnya diturunkan sampai menekan pahaku sehingga penisku terbenam dalam-dalam menyentuh dinding rahimnya.

Ia menegakkan tubuhnya sehingga ia dalam posisi duduk setengah jongkok di atas selangkanganku. Ia kemudian menggerakkan pantatnya maju mundur sambil menekan ke bawah sehingga penisku tertelan dan bergerak ke arah perutku. Rasanya seperti diurut dan dijepit sebuah benda yang kuat namun lunak. Semakin lama-semakin cepat ia mengerakkan pantatnya, namun tidak ada kasar atau menghentak-hentak. Aliran darah yang mengalir ke penisku kurasakan semakin cepat dan mulai ada aliran yang merambat di sekujur tubuhku.

"Ouhh.. Sshh.. Akhh!" Desisnya pun semakin sering.

Aku tahu sekarang bahwa ia pun akan segera mengakhiri pertarungan ini dan menggapai puncak kenikmatan. Aku menggeserkan tubuhku ke atas sehingga kepalaku menggantung di bibir ranjang. Ia segera mengecup dan menciumi leherku.

"Anto.. Sebentar lagi kita akan sampaiihh.. Ouhh!"

Desiran dan aliran di saluran kencingku makin kencang. Aku bangkit dan duduk memangku Bu Mina. Penisku kukeraskan dengan menahan napas dan mengencangkan otot antara buah zakar dan anusku. Ia semakin cepat menggerakkan pantatnya maju mundur sementara bibirnya ganas melumat bibirku dan tangannya memeluk leherku. Tanganku memeluk pinggangnya dan membantu mempercepat gerkan maju mundurnya. Ia sedikit mengangkat lututnya dan berteriak keras.

"Antoo oohh.. Ayo.. Berikan aku.."
"Bu Mina.. Sekarang.. Kuberi..!"

Kutarik tubuhnya dan kembali kurebahkan tubuhnya ke atas tubuhku, matanya melotot dan bola matanya memutih. Giginya menggigit bahuku dan mendesah..

"Anto.. Sekarang sayangku.. Sekarang.. Hhuuaahh!"

Ia kini memekik kecil. Pantatnya menekan kuat ke bawah. Dinding vaginanya berdenyut kuat menghisap penisku. Aku menahan tekanan pantatnya dengan menaikkan pinggulku. Bibirnya menciumiku dengan ciuman ganas dan sebuah gigitan pada bahuku. Satu aliran yang sangat kuat membersit lewat lubang meriamku. Kupeluk tubuhnya erat-erat dan kutekankan kepalanya di dadaku. Napas yang putus-putus terdengar dan setelah sebuah tarikan napas panjang ia terkulai lemas di atas tubuhku. Keadaan menjadi sunyi.

*****

Hari itu masih kami isi dengan dua kali percumbuan yang panjang. Percumbuan terakhir berlangsung dengan foreplay yang lama dan sejam kemudian kami mengejang dan mengerang bersama. Kami berendam air panas di bath tub dengan berpelukan dan saling meremas jari.

Bu Mina memintaku untuk pulang esok pagi, namun kutolak dengan alasan besok pagi ada urusan ke kecamatan. Hmmhh, Bu Mina yang supel!!

MAEN MESUM DENGAN MBA SUM

Umurku baru 28 tahun ketika diangkat jadi manager area sebuah perusahaan consumer goods. Aku ditempatkan di Semarang dan diberi fasilitas rumah kontrakan tipe 45. Setelah 2-3 minggu tinggal sendirian di rumah itu lama-lama aku merasa capai juga karena harus melakukan pekerjaan rumah tangga seperti nyapu, ngepel, cuci pakaian, cuci perabot, bersih-bersih rumah tiap hari. Akhirnya kuputuskan cari pembantu rumah tangga yang kugaji sendiri daripada aku sakit. Lewat sebuah biro tenaga kerja, sore itu datanglah seorang wanita sekitar 35 tahunan, Sumiyati namanya, berasal dari Wonogiri dan sudah punya dua anak yang tinggal bersama ortunya di desa.

"Anaknya ditinggal dengan neneknya tidak apa-apa, Mbak?" tanyaku.
"Tidak, pak. Mereka kan sudah besar-besar, sudah SMP dan SD kelas 6," jawabnya.
"Lalu suami Mbak Sum dimana?"
"Sudah meninggal tiga tahun lalu karena tbc, pak."
"Ooo.. pernah kerja di mana saja, Mbak?"
"Ikut rumah tangga, tapi berhenti karena saya tidak kuat harus kerja terus dari pagi sampai malam, maklum keluarga itu anaknya banyak dan masih kecil-kecil.. Kalau di sini kan katanya hanya bapak sendiri yang tinggal, jadi pekerjaannya tidak berat sekali."

Dengan janji akan kucoba dulu selama sebulan, jadilah Mbak Sum mulai kerja hari itu juga dan tinggal bersamaku. Dia kuberi satu kamar, karena memang rumahku hanya punya dua kamar. Tugas rutinnya, kalau pagi sebelum aku ke kantor membersihkan kamarku dan menyiapkan sarapanku. Setelah aku ke kantor barulah ruangan lain, nyuci, belanja, masak dst. Dia kubuatkan kunci duplikat untuk keluar masuk rumah dan pagar depan. Setelah seminggu tinggal bersama, kami bertambah akrab. Kalau di rumah dan tidak ada tamu dia kusuruh memanggilku "Mas" bukan "bapak" karena usianya tua dia. Beruntung dia jujur dan pintar masak sehingga setiap pagi dan malam hari aku dapat makan di rumah, tidak seperti dulu selalu jajan ke luar. Waktu makan malam Mbak Sum biasanya juga kuajak makan semeja denganku. Biasanya, selesai cuci piring dia nonton TV. Duduk di permadani yang kugelar di depan pesawat. Kalau tidak ada kerjaan yang harus dilembur aku pun ikut nonton TV. Aku suka nonton TV sambil tiduran di permadani, sampai-sampai ketiduran dan seringkali dibangunkan Mbak Sum supaya pindah ke kamar.

Suhu udara Semarang yang tinggi sering membuat libidoku jadi cepat tinggi juga. Lebih lagi hanya tinggal berdua dengan Mbak Sum dan setiap hari menatap liku-liku tubuh semoknya, terutama kalau dia pakai daster di atas paha. (Kalau digambarkan bodynya sih mirip-mirip Yenny Farida waktu jadi artis dulu). Maka lalu kupikir-pikir rencana terbaik untuk bisa mendekap tubuhnya. Bisa saja sih aku tembak langsung memperkosanya toh dia nggak bakal melawan majikan, tapi aku bukan orang jenis itu. Menikmatinya perlahan-lahan tentu lebih memberi kepuasan daripada langsung tembak dan cuma dapat nikmat sesaat.

"Mbak Sum bisa mijit nggak?" tanyaku ketika suatu malam kami nonton TV bareng.
Dia duduk dan aku tiduran di permadani.
"Kalau asal-asalan sih bisa, Mas," jawabnya lugu.
"Nggak apa-apa, Mbak. Ini lho, punggungku kaku banget.. Seharian duduk terus sampai nggak sempat makan siang. "Tolong dipijat ya, Mbak.." sambil aku tengkurap.
Mbak Sum pun bersimpuh di sebelahku. Tangannya mulai memijat punggungku tapi matanya tetap mengikuti sinetron di TV. Uuhh.. nikmatnya disentuh wanita ini. Mata kupejamkan, menikmati. Saat itu aku sengaja tidak pakai CD (celana dalam) dan hanya pakai celana olahraga longgar.
"Mijatnya sampai kaki ya, Mbak," pintaku ketika layar TV menayangkan iklan.
"Ya, Mas," lalu pijatan Mbak Sum mulai menuruni pinggangku, terus ke pantat.
"Tekan lebih keras, Mbak," pintaku lagi dan Mbak Sum pun menekan pantatku lebih keras.
Penisku jadi tergencet ke permadani, nikmat, greng dan semakin.. berkembang. Aku tak tahu apakah Mbak Sum merasakan kalau aku tak pakai CD atau tidak. Tangannya terus meluncur ke pahaku, betis hingga telapak kaki. Cukup lama juga, hampir 30 menit.

"Sudah capai belum, Mbak?"
"Belum, Mas."
"Kalau capai, sini gantian, Mbak kupijitin," usulku sambil bangkit duduk.
"Nggak usah, Mas."
"Nggak apa-apa, Mbak. Sekarang gantian Mbak Sum tengkurap," setengah paksa dan merajuk seperti anak-anak kutarik tangannya dan mendorong badannya supaya telungkup.
"Ah, Mas ini, saya jadi malu.."
"Malu sama siapa, Mbak? Kan nggak ada orang lain?"
Agak canggung dia telungkup dan langsung kutekan dan kupijit punggungnya supaya lebih tiarap lagi. Kuremas-remas dan kupijit-pijit punggung dan pinggangnya.
"Kurang keras nggak, Mbak?"
"Cukup, Mas.." Sementara matanya sekarang sudah tidak lagi terlalu konsentrasi ke layar kaca. Kadang merem melek. Tanganku mencapai pantatnya yang tertutup daster. Kuremas, kutekan, kadang tanganku kusisipkan di antara pahanya hingga dasternya mencetak pantat gempal itu. Kusengaja berlama-lama mengolah pantatnya, toh dia diam saja.

"Pantat Mbak empuk lo.." godaku sambil sedikit kucubit.
"Ah, Mas ini bisa saja.. Mbak jadi malu ah, masak pembantu dipijitin juragannya.. Sudah ah, Mas.." pintanya.
Sambil berusaha berdiri.
"Sabar, Mbak, belum sampai ke bawah," kataku sambil mendorongnya balik ke permadani.
"Aku masih kuat kok."
Tanganku bergerak ke arah pahanya. Meremas-remas mulai di atas lutut yang tidak tertutup daster, lalu makin naik dan naik merambat ke balik dasternya. Mbak Sum mula-mula diam namun ketika tanganku makin tinggi memasuki dasternya ia jadi gelisah.
"Sudah, Mas.."
"Tenang saja, Mbak.. Biar capainya hilang," sahutku sambil menempelkan bagian depan celanaku yang menonjol ke samping pahanya yang kanan sementara tanganku memijat sisi kiri pahanya. Sengaja kutekankan "tonjolan"ku. Dan seolah tanpa sengaja kadang-kadang kulingkarkan jari tangan ke salah satu pahanya lalu kudorong ke atas hingga menyentuh bawah vaginanya. Tentu saja gerakanku masih di luar dasternya supaya ia tidak menolak. Ingin kulihat reaksinya. Dan yang terdengar hanya eh.. eh.. eh.. tiap kali tanganku mendorong ke atas.

"Sekarang balik, Mbak, biar depannya kupijat sekalian.."
"Cukup, Mas, nanti capai.."
"Nggak apa-apa, Mbak, nanti gantian Mbak Sum mijit aku lagi.."
Kudorong balik tubuhnya sampai telentang. Daster di bagian pahanya agak terangkat naik. Mula-mula betisnya kupijat lagi lalu tanganku merayap ke arah pahanya. Naik dan terus naik dan dasternya kusibak sedikit sedikit sampai kelihatan CD-nya.
"Mbak Sum pakai celana item ya?" gurauku sampai dia malu-malu.
"Saya jadi malu, Mas, kelihatan celananya.." sambil tangannya berusaha menurunkan dasternya lagi.
"Alaa.. yang penting kan nggak kelihatan isinya to, Mbak.." godaku lagi sambil menahan tangannya dan mengelus gundukan CD-nya dan membuat Mbak Sum menggelinjang.
Tangannya berusaha menepis tanganku. Melihat reaksinya yang tidak terlalu menolak, aku tambah berani. Dasternya makin kusingkap sehingga kedua pahanya yang besar mengkal terpampang di depanku. Namun aku tidak terburu nafsu. Kusibakkan kedua belah paha itu ke kiri-kanan lalu aku duduk di sela-selanya. Kupijat-pijat pangkal paha sekitar selangkangannya sambil sesekali jariku nakal menelusupi CD-nya.

"Egh.. egh.. sudah Mas, nanti keterusan.." tolaknya lemah.
Tangannya berusaha menahan tanganku, tapi tubuhnya tak menunjukkan reaksi menolak malah tergial-gial setiap kali menanggapi pijitanku.
"Keterusan gimana, Mbak?" tanyaku pura-pura bodoh sambil memajukan posisi dudukku sehingga penisku hampir menyentuh CD-nya. Dia diam saja sambil tetap memegangi tanganku supaya tidak keterusan.
"Ya deh, sekarang perutnya ya, Mbak.."
Tanganku meluncur ke arah perutnya sambil membungkuk di antara pahanya. Sambil memijat dan mengelus-elus perutnya, otomatis zakarku (yang masih terbungkus celana) menekan CD-nya. Merasa ada tekanan di CD-nya Mbak Sum segera bangun.
"Jangan Mas.. nanti keterusan.. Tidak baik.." lalu memegang tanganku dan setengah menariknya.
Kontan tubuhku malah tertarik maju dan menimpanya. Posisi zakarku tetap menekan selangkangannya sedang wajah kami berhadap-hadapan sampai hembusan nafasnya terasa.
"Jangan, Mas.. jangan.." pintanya lemah.
"Cuma begini saja, nggak apa-apa kan Mbak?" ujarku sambil mengecup pipinya.
"Aku janji, Mbak, kita hanya akan begini saja dan tidak sampai copot celana," sambil kupandang matanya dan pelan kugeser bibirku menuju ke bibirnya.
Dia melengos tapi ketika kepalanya kupegangi dengan dua tangan jadi terdiam. Begitu pula ketika lidahku menelusuri relung-relung mulutnya dan bibir kami berciuman. Sesaat kemudian dia pun mulai merespons dengan hisapan-hisapannya pada lidah dan bibirku.

Targetku hari itu memang belum akan menyetubuhi Mbak Sum sampai telanjang. Karena itulah kami selanjutnya hanya berciuman dan berpelukan erat-erat, kutekan-tekankan pantatku. Bergulingan liar di atas permadani. Kuremas-remas payudaranya yang montok mengkal di balik daster. Entah berapa jam kami begituan terus sampai akhirnya kantuk menyerang dan kami tertidur di permadani sampai pagi. Dan ketika bangun Mbak Sum jadi tersipu-sipu.
"Maaf ya, Mas," bisiknya sambil memberesi diri.
Tapi tangannya kutarik sampai ia jatuh ke pelukanku lagi.
"Nggak apa-apa, Mbak. Aku suka kok tidur sambil pelukan kayak tadi. Tiap malam juga boleh kok.." candaku.
Mbak Sum melengos ketika melihat tonjolan besar di celanaku.

Sejak saat itu hubunganku dengan Mbak Sum semakin hangat saja. Aku bebas memeluk dan menciumnya kapan saja. Bagai istri sendiri. Dan terutama waktu tidur, kami jadi lebih suka tidur berdua. Entah di kamarku, di kamarnya atau di atas permadani. Sengaja selama ini aku menahan diri untuk tidak memaksanya telanjang total dan berhubungan kelamin. Dengan berlama-lama menahan diri ini lebih indah dan nikmat rasanya, sama seperti kalau kita menyimpan makanan terenak untuk disantap paling akhir.

Hingga suatu malam di ranjangku yang besar kami saling berpelukan. Aku bertelanjang dada dan Mbak Sum pakai daster. Masih sekitar jam 9 waktu itu dan kami terus asyik berciuman, berpagutan, berpelukan erat-erat saling raba, pijat, remas. Kuselusupkan tanganku di bawah dasternya lalu menariknya ke atas. Terus ke atas hingga pahanya menganga, perutnya terbuka dan akhirnya beha putihnya nampak menantang. Tanpa bicara dasternya terus kulepas lewat kepalanya.
"Jangan, Mas.." Mbak Sum menolak.
"Nggak apa-apa, Mbak, cuma dasternya kan.." rayuku.
Dia jadi melepaskan tanganku. Juga diam saja ketika aku terang-terangan membuka celana luarku hingga kami sekarang tinggal berpakaian dalam. Kembali tubuh gempal janda montok itu kugeluti, kuhisap-hisap puncak branya yang nampak kekecilan menampung teteknya. Mbak Sum mendesis-desis sambil meremasi rambut kepalaku dan menggapitkan pahanya kuat-kuat ke pahaku.

"Mbak Sum pingin kita telanjang?" tanyaku.
"Jangan, Mas. Pingin sih pingin.. tapi.. gimana ya.."
"Sudah berapa lama Mbak Sum tidak ngeseks?"
"Ya sejak suami Mbak meninggal.. kira-kira tiga tahun.."
"Pasti Mbak jadi sering masturbasi ya?"
"Kadang-kadang kalau sudah nggak tahan, Mas.."
"Kalau main dengan pria lain?"
"Belum pernah, Mas.."
"Masak sih, Mbak? masak nggak ada yang mau?"
"Bukan begitu, tapi aku yang nggak mau, Mas.."
"Kalau sama aku kok mau sih, Mbak?" godaku lagi.
"Ah, kan Mas yang mulai.. dan lagi, kita kan nggak sampai anu.."
"Anu apa, Mbak?"
"Ya itu.. telanjang gitu.."
"Sekarang kita telanjang ya, Mbak.."
"Eee.. kalau hamil gimana, Mas?"
"Aku pakai kondom deh.."
"Ng.. tapi itu kan dosa, Mas?"
"Kalau yang sekarang ini dosa nggak, Mbak?" tanyaku mentesnya.
"Eee.. sedikit, Mas," jawabnya bingung.
Aku tersenyum mendengar jawaban mengambang itu dan kembali memeluk erat-erat tubuh sekalnya yang menggemaskan. Kuremas dan kucium-cium pembungkus teteknya. Ia memeluk punggungku lebih erat. Kuraba-raba belakang punggungnya mencari lalu melepas kaitan branya.
"Ja..jangan, Mas.." Bisiknya tanpa reaksi menolak dan kulanjutkan gerakanku.
Mbak Sum hanya melenguh kecil ketika branya kutarik dan kulemparkan entah kemana. Dua buah semangka segar itu langsung kukemut-kemut putingnya. Kuhisap, kumasukkan mulut sebesar-besarnya, kugelegak, sambil kulepas CD-ku. Mbak Sum terus mendesis-desis dan bergetar-getar tubuhnya. Kami bergumul berguling-guling. Kutekan-tekan selangkangannya dengan zakarku.

"Gimana, Mbak.. sudah siap kuperawani?" tanganku menjangkau CD-nya dan hendak melepasnya.
"Jangan, Mas. Kalau hamil gimana?"
"Ya ditunggu saja sampai lahir to, Mbak.." gurauku sambil berusaha menarik lepas CD-nya.
Mbak Sum berusaha memegangi CD-nya tapi seranganku di bagian atas tubuhnya membuatnya geli dan tangannya jadi lengah. Cd-nya pun merosot melewati pantatnya.
"Kalau hamil, siapa yang ngurus bayinya?"
"Ya, Mbak lah, kan itu anakmu.. tugasku kan cuma bikin anak, bukan ngurusi anak.." godaku terus.
"Dasar, mau enaknya sendiri.." Mbak Sum memukulku pelan, tangannya berusaha menjangkau CD dari bawah pahanya tapi kalah cepat dengan gerakanku melepas CD itu dari kakinya. Buru-buru kukangkangkan pahanya lalu kubenamkan lidahku ke situ. Slep.. slep.. slep.. Mbak Sum melenguh dan menggeliat lagi sambil meremasi kepalaku. Nampak dia berada dalam kenikmatan. Beberapa menit kemudian, aku memutar posisi tubuhku sampai batang zakarku tepat di mulutnya sementara lidahku tetap beroperasi di vulvanya. Dengan agak canggung-canggung dia mulai menjilati, mengulum dan menghisapnya. Vulvanya mulai basah, zakarku menegang panjang. Eksplorasi dengan lidah kuteruskan sementara tanganku memijit-mijit sekitar selangkangan hingga anusnya.

"Agh.. agh.. Maas.. ak.. aku.."
Mbak Sum tak mampu bersuara lagi, hanya pantatnya terasa kejang berkejat-kejat dan mengalirlah cairan maninya mengaliri mulutku. Kugelegak sampai habis cairan bening itu.
"Isap anuku lebih keras, Mbak!" perintahku ketika kurasakan maniku juga sudah di ujung zakar.
Dan benar saja, begitu diisap lebih keras sebentar kemudian spermaku menyembur masuk ke kerongkongan Mbak Sum yang buru-buru melepasnya sampai mulutnya tersedak berlepotan sperma. Kami pun terjelepak kelelahan. Kuputar tubuhku lagi dan malam itu kami tidur telanjang berpelukan untuk pertama kalinya. Tapi zakarku tetap tidak memerawani vaginanya. Aku masih ingin menyimpan "makanan terenak" itu berlama-lama.

Selanjutnya kegiatan oral seks jadi kegemaran kami setiap hari. Entah pagi, siang maupun malam bila salah satu dari kami (biasanya aku yang berinisiatif) ingin bersetubuh ya langsung saja tancap. Entah itu di kamar, sambil mandi bersama atau bergulingan di permadani. Tiap hari kami mandi keramas dan entah berapa banyak bercak mani di permadani. Selama itu aku masih bertahan dan paling banter hanya memasukkan kepala zakarku ke vaginanya lalu kutarik lagi. Batangnya tidak sampai masuk meski kadang Mbak Sum sudah ingin sekali dan menekan-nekan pantatku. "Kok nggak jadi masuk, Mas?" tanyanya suatu hari.
"Apa Mbak siap hamil?" balikku.
"Kan aku bisa minum pil kabe to Mas.."
"Bener nih Mbak rela?" jawabku menggodanya sambil memasukkan lagi kepala zakarku ke memeknya yang sudah basah kuyup.
"Heeh, Mas," dia mengangguk.
"Mbak nggak merasa bersalah sama suami?"
"Kan sudah meninggal, Mas."
"Sama anak-anak?"
Ia terdiam sesaat, lalu jawabnya lirih, "A.a.. aku kan juga masih butuh seks, Mas.."
"Mana yang Mbak butuhkan, seks atau suami?" tanyaku terus ingin tahu isi hatinya.
Kuangkat lagi kepala zakarku dari mulut memeknya lalu kusisipkan saja di sela-sela pahanya.
"Pinginnya sih suami, Mas.. tapi kalo Mas jadi suamiku kan nggak mungkin to.. Aku ini kan cuma orang desa dan pembantu.." jawabnya jujur.
"Jadi, kalau sama aku cuma butuh seksnya aja ya Mbak? Mbak cuma butuh nikmatnya kan? Mbak Sum pingin bisa orgasme tiap hari kan?"
Mbak Sum tersipu. Tidak menjawab malah memegang kepalaku dan menyosor bibirku dengan bibirnya. Kami kembali berpagutan dan bergulingan. Zakar besar tegangku terjepit di sela pahanya lalu cepat-cepat aku berbalik tubuh dan memasukkan ke mulutnya. Otomatis Mbak Sum menghisap kuat-kuat zakarku sama seperti aku yang segera mengobok-obok vaginanya dengan tiga jari dan lidahku. Sejenak kemudian kembali kami orgasme dan ejakulasi hampir bersamaan. Yah, bisakah pembaca bersetubuh seperti kami? Saling memuasi tanpa memasukkan zakar ke vagina.

Hubungan nikmat ini terus berlangsung hingga suatu sore sepulangku kerja Mbak Sum memberiku sekaplet pil kabe dan sekotak kondom kepadaku.
"Sekarang terserah Mas, mau pakai yang mana? Mbak sudah siap.." tantangnya.
Aku jadi membayangkan penisku memompa vaginanya yang menggunduk itu.
"Mbak benar-benar ikhlas?" tanyaku.
"Lha memang selama ini apa Mas? Saya kan sudah pasrah diapakan saja sama Mas."
"Mbak tidak kuatir meskipun aku nggak bakalan jadi suami Mbak?" lanjutku sambil berjaga-jaga untuk menghindari resiko bila terjadi sesuatu di belakang hari.
"Saya sudah ikhlas lega lila, mau dikawini saja tiap hari atau dinikahi sekalian terserah Mas saja. Saya benar-benar tidak ada pamrih apa-apa di belakang nanti.. Saya hanya ingin kita berhubungan seks dengan maksimal.. tidak setengah-setengah seperti sekarang ini.."
Haah, ternyata Mbak Sum pun jadi berkobar nafsu syahwatnya setelah berhubungan seks denganku secara khusus selama ini. Ternyata wanita ini memendam hasrat seksual yang besar juga. Sampai rela mengorbankan harga dirinya. Aku jadi tak tega, tapi sekaligus senang karena tidak bakal menanggung resiko apapun dalam berhubungan seks dengan dia. Aku selama ini kan memang hanya mengejar nafsu dan nampaknya Mbak Sum pun terbawa iramaku itu. Ya, seks hanya untuk kesenangan nafsu dan tubuh. Tanpa rasa cinta. Tidak perlu ada ketakutan terhadap resiko harus menikahi, punya anak dsb. Kapan lagi aku dapat prt sekaligus pemuas nafsu dengan tarif semurah ini (gajinya sebulan 150 ribu rupiah kadang kutambah 50 atau 100 ribu kalau ada rejeki lebih). Bandingkan biayanya bila aku harus cari wanita penghibur setiap hari. Dan kayaknya yang seperti inilah yang disukai para pria pengobral zakar dan mungkin sebagian besar pembaca 17Tahun.com inipun termasuk di dalamnya. Mau nikmatnya, nggak mau pahitnya. Begitu, kan? Ngaku ajalah, nggak usah cengar-cengir kayak monyet gitu. Soal seks kita sama dan sebangun kok. He he he..

"Sekarang aku mau mandi dulu, Mbak. Urusan itu pikirin nanti saja," jawabku sambil melepas pakaian dan jalan ke kamar mandi bertelanjang.
Kutarik tangan Mbak Sum untuk menemaniku mandi. Pakaiannya pun sudah kulepasi sebelum kami sampai ke pintu kamar mandi. Hal seperti ini sudah biasa kami lakukan. Saling menggosok dan memandikan sambil membangkitkan nafsu-nafsu erotis kami. Dan acara mandi bersama selalu berakhir dengan tumpahnya sperma dan mani kami bersama-sama karena saling isep.

Dan godaan untuk bermain seks dengan tuntas semakin besar setelah ada pil kabe dan kondom yang dibeli Mbak Sum. Esok malamnya eksperimen itu akan kami mulai dengan kondom lebih dulu. Soalnya aku takut kalau ada efek samping bila Mbak Sum minum pil kabe. Kata orang kalau nggak cocok malah bikin kering rahim. Kan kasihan kalau orang semontok Mbak Sum rahimnya kering. Malam itu seusai makan malam dan nonton TV sampai jam sembilan, kami mulai bergulingan di permadani. Satu persatu penutup tubuh kami bertebaran di lantai. Putingya kupelintir dan sebelah lagi kukemut dan kugigit-gigit kecil sementara tangan kananku menggosok-gosok pintu memek Mbak Sum sampai dia mengerang-erang mau orgasme.
"Sekarang pakai ya, Mas," bisiknya sambil menggenggam kencang zakarku yang tegang memanjang.
"Heeh," jawabku lalu dia menjangkau sebungkus kondom yang sudah kamu sediakan di sebelah TV.
Disobeknya lalu karet tipis berminyak itu pelan-pelan disarungkannya ke penisku. Mbak Sum nampak hati-hati sekali.
"Wah, jadi gak bisa diisep Mbak nih," kataku.
"Kan yang ngisep ganti mulut bawah, Mas.." Guraunya membuatku tersenyum sambil terus meremas-remas teteknya.
Sleeb.. lalu karet tipis itupun digulungnya turun sampai menutupi seluruh batangku.
"Sudah, Mas," katanya sambil menelentangkan tubuh dan mengangkan pahanya lebar-lebar.
Perlahan aku mengangkanginya.
"Sekarang ya, Mbak," bisikku sambil memeluknya mesra.
Mbak Sum memejamkan mata. Perlahan zakarku dipegang, diarahkan ke lobang nikmatnya. Kuoser-oser sebentar di depan pintunya barulah kudesakkan masuk. Masuk separuh. Mbak Sum melenguh..
"Sakit Mbak?"
"Sedikit.."
Kuhentikan sebentar lalu kudorong lagi pelan-pelan dan dia mulai melepasnya. Bless.. slep.. kugerakkan pantatku maju-mundur naik-turun. Matanya merem melek, tangan kami berpelukan, tetek tergencet dadaku, bibir kami saling kulum. Kugenjot terus, kupompa, kubajak, kucangkul, kumasuki, kubenamkan, dalam dan semakin dalam, gencar, cepat dan kencang. Sampai akhirnya gerakkanku terhambat ketika mendadak Mbak Sum memelukkan pahanya erat-erat ke pahaku.
"Akk.. aku sampai Mas.. egh.. egh.."
Dan seerr.. terasa cairan hangat menerpa zakarku. Kuhentikan gerakanku, dan hanya membenamkannya dalam-dalam. Menekan dan menekan masuk. Rasanya agak kurang enak karena batangku terbungkus karet tipis itu.

Kubiarkan Mbak Sum istirahat sejenak sebelum aku mulai memompanya lagi bertubi-tubi sambil kueksplorasi bagian sensitif tubuhnya hingga dia kembali terangsang.
"Mbak pingin keluar lagi?" tanyaku.
"Kk.. kalau bisa, Mas.. keluar sama-sama.." ajaknya sambil mulai menggoyang dan memutar-mutar bokongnya.
Aku merasakan nikmat yang belum pernah kurasakan. Soalnya kan baru pertama kali ini zakarku menancapi lubangnya. Ternyata hebat juga goyangannya. Goyang ngebornya Inul, ngecornya Denada atau ngedennya Camelia Malik kalah jauh deh.. soalnya mana mungkin aku ngrasain vagina mereka kan? Dan kenikmatan itu semakin terasa diujung batangku. Gerakan pompaku semakin cepat dan cepat.
"Mbak.. hh.. hh.. hh.." dengus nafasku terus memacu gerak maju mundur pantatku.
Sementara dengan tak kalah brutalnya Mbak Sum melakukan yang sama dari bawah.
"Ak.. aku sudah mau Mbak.." pelukku ketat ke tubuhnya.

Kutindih, kuhunjamkan dalam-dalam, kuhentakkan ketika sperma keluar dari ujung batangku. Yang pasti Mbak Sum tak bakalan merasakan semburannya karena toh sudah tertampung di ujung kondom. Sejenak kemudian Mbak Sum pun meregang dan berkejat-kejat beberapa kali sambil membeliak-beliak matanya. Dia orgasme lagi. Tubuhnya tetap kutelungkupi. Nafas kami memburu. Mata kami terpejam kecapaian. "Puas, Mbak?" bisikku sambil mengulum telinganya. Dia mengangguk kecil. Kami kembali tidur berpelukan. Mungkin dia tengah membayangkan tidur dengan suaminya. (Sementara aku tidak membayangkan apapun kecuali sesosok daging mentah kenyal yang siap kugenjot setiap saat). Hehehe.. kasihan Mbak Sum kalau dia tahu otak mesumku. Tapi kenapa mesti dikasihani kalau dia juga menikmati? Ya kan? Ya kan? Aku sering bertanya-tanya: Bila seorang wanita orgasme ketika dia diperkosa, apakah itu bisa disebut perkosaan? Siapa bisa jawab?

Sambil menunggu jawab Anda, aku dan Mbak Sum terus mereguk kepuasan dengan pakai kondom. Sayangnya satu kondom hanya bisa dipakai satu kali main. Kalau lebih dikuatirkan bocor. Makanya hanya dalam sehari itu kondom satu dus habislah sudah. Anda bisa hitung sendiri berapa kali aku ejakulasi.
Esoknya, "Mbak, kondomnya habis, mau pakai pil?" tanyaku.
"Boleh," jawabnya santai.
Dan malam itu mulailah ia minum pil sesuai jadwal dan hasilnya.. ternyata kami lebih puas karena tidak ada lagi selaput karet tipis yang menahan semburan spermaku memasuki gua garba Mbak Sum.
"Mas.. Mas.. semprot terus Mas, enak banget.." serunya ketika aku ejakulasi sambil berkejat-kejat diatas pahanya belasan kali menghunjamkan zakar yang menyemprot puluhan kali.
Dari cret, crit, crut, crat sampai crot crot crot lalu cret cret cret lagi!! Soal rahim kering sudah tak kupikir lagi. Biar saja mau kering mau basah wong yang melakukan manggut-manggut saja tuh. Yah, dalam semalam minimal kami pasti sampai tiga kali orgasme dan ejakulasi. Sedangkan pagi atau siang tidak selalu kami lakukan. Kami bagaikan sepasang maniak seks. Ditambah vCD-vCD triple-x yang kutontonkan padanya, Mbak Sum jadi semakin ahli mengolah persetubuhan kami jadi kenikmatan tiada tara.

Anda mau coba? Jangan ah, Mbak Sum kan milikku seorang. Kalau nanti aku dipindah tugas ke kota lain mungkin ia akan kubawa. Kalau tidak mau, ya aku akan cari Mbak Sum-Mbak Sum mesum yang lain. Pasti ada deh, namanya juga kenikmatan dunia. Siapa yang nolak sih? Hehehe.. Eh, Anda sudah jawab pertanyaanku di atas belum? Kalau sudah, kirim dong ke emailku. Yang jawabannya memuaskan akan kuberikan Mbak Sum sebagai hadiah (..tapi nanti kalau aku sudah bosan main seks dengan dia lo.. hehehe..)